CLICK HERE FOR THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES »

Jumat, 04 Januari 2008

Akankan kunjungan masih beraura


Setahun lalu tepatnya 15 Desember 2007, Anca menginjakan kakinya untuk kesekian kalinya di kawasan ini, Tendean Mampang Prapatan Jakarta Selatan.Berkali-kali ia ditelpon bosnya di Jakarta untuk datang namun seringkali menolaknya dengan berbagai alasan. Tapi setelah ia ditelpon langsung oleh seorang atasannya, dia tak bisa mengelak lagi lalu akhirnya tiba jugalah dia di Kawasan Tendean. Sejak saat itu Anca tak pernah lagi mengunjungi kawasan Tendean. Namun cerita tentang hiruk pikuk rekan-rekananya di Tendean nyaris setiap saat ia dengar.

Bergolak juga dalam hatinya mendengar berbagai cerita tentang kawan-kawannya yang saat ini tengah melaksanakan tugas di Jakarta. Berbagai cerita mulai dari suasana kerja,cara bekerja hingga persoalan klasik tentang kehidupan masih saja terus terngiang di telinganya. Hingga akhirnya dia mendengar lagi akan banyaknya kawan-kawannya yang memilih pindah bekerja."dulu saya anggap sebuah kelaziman kalau ada teman yang pindah, karena alasannya sangat jelas dan sudah umum di bicarakan di kantor ini. Tapi sekarang, persoalan itu makin bertambah dan menyentuh ke persoalan kinerja", gumamnya saat bercerita kepada ayahnya.

Anca lalu merenung dan khayalnya mulai menerawang jauh hingga ke Tendean. Pekerjaan yang baru saja ia lakoni untuk sementara dia tinggalkan. "Saya seolah hendak menuju ke sana hanya untuk melihat suasana dan teman-temanku yang senasib denganku", keluhnya dalam hati.

Tapi ia cemas dan khawatir, entah seperti apa lagi suasana yang ia dapatkan di sana kelak. Soalnya, ada beberapa sahabat baik hanya sebatas sahabat senyum hingga sahabat ngobrol di pantry belakang sudah tak nampak lagi. "ayah..saya baru dapat kabar, kalau ada beberapa teman baiku yang sudah keluar.dan katanya masih ada beberapa lagi yang menyiapkan diri untuk keluar. Bukan ke perusahaan lain tapi memang sudah bosan dan gerah kerja. Kira-kira, apakah hal itu tidak terjadi pada saya". Begitulah pertanyaan yang diajukan Anca ke ayahnya. Namun sang ayah tidak menjawab dan hanya senyum sambil meminum secangkir kopi yang dibuatkan oleh anca. Padahal, dia benar-benar ingin mendengar saran dari sang ayah. Sang ayah lalu beranjak dan hanya mengucapkan empat kata "kerja saja yang baik".

Kalau kerja baik, memang itulah yang sering dilakukan oleh anca, dimanapun ia bekerja. Apakah sebagai tukang sampah, penjual koran, atau office boy atau bekerja di perusahaan besar tetap saja ia lakoni dengan ikhlas dan tenang. Ia pernah membaca kisah seorang tukang pintu. Umurnya kira-kira sudah 40-an tahun, ia bekerja di salah satu hotel ternama di Singapura. Setiap hari ia mengecek pintu-pintu kamar hotel.Ketika ditanya kenapa ia melakukan setiap hari?bukankah sekali seminggu cukup "Coba bayangkan, jika sekiranya hotel ini terbakar lalu hanya gara-gara kunci pintu yang rusak lalu tamu yang ada di dalam kamar ini tidak bisa keluar dan akhirnya terbakar dan meninggal?betapa berdosanya saya, betapa bodohnya diriku dan saya tidak akan melupakan hingga akhir hayatku" jawab sang tukang kunci sambil terus mengolesi pelicin ke sejumlah pintu hotel. Katanya, peristiwa tidak ada yang tau kapan kejadiannya, bukan sekali seminggu bukan pula sekali sehari. Mungkin seperti inilah pesan salah seorang presiden Amerika Serikat, "NEVER GIVE NOT" ketika menyampaikan kampanyenya dan akhirnya terpilih lagi. "ah saya lupa nama presiden itu". Yah..jangan pernah berhenti untuk bekerja, Artinya, di manapun kita bekerja, asal bekerja dengan baik,penuh keihklasan dan untuk kemaslahatan orang banyak maka menurutku akan sama saja .

Entah jika kelak dia ke Jakarta lagi maka ia tak menemui lagi sejumlah sahabat-sahabat lamanya. Jika berkumpul dengan beberapa kawannya pasti akan kekurangan satu atau dua orang lagi. "yah..satu persatu kawanku sudah pergi", sedihnya. Itulah sebenarnya yang menganggu pikiran anca,bahwa tak ada senyuman ikhlas dari kawan-kawannya yang dulu. Mungkin, ia tak akan betah berlama-lama lagi di sana dan selalu igin pulang cepat di kampung halamannya, di mana ia dan teman-teman kampungnya bermain jauh dari pergulatan hidup di Jakarta. "semoga suatu saat jika saya ke sana-walau temanku telah berkurang, tapi setidaknya ada kumbang yang menjemputku lalu memberikan senyuman. Saya pikir, itu sudah lebih dari cukup bagiku", harapan anca kelak sambil mengakhiri ceritanya. Bahkan agar lebih menahan diriku untuk berlama-lama, tak ada salahnya menyimpan berbagai bunga di setiap tiang yang akan kulalui menuju lantai 3. Sebuah puisi akan kusiapkan "janganlah kita bertemu, karena pasti kita akan jatuh cinta lagi".

Selasa, 01 Januari 2008

Surat-Surat Pilkada

"apa kabar partner..rasanya sudah hampir dua bulan saya meninggalkan kota kita yang tercinta itu-Makassar. Kini saya mencoba hidup di Ibu Kota Jakarta-yang kata orang kota penuh dengan keganasan. Kalau bukan saya yang ikut dengan gaya mereka maka mereka yang ikut gayaku. Tapi kawan, rasanya sulit-. Sayalah yang kini terawa arus.Tapi sudahlah, saya tidak mau menceritakan panjang lebar kehidupanku di kota ini.Yang ingin kuketahui bagaimana kabarnya kiranya kampung-kampung kita itu. Berdengung rasanya telingaku mendengar berita di tivi,berita di koran mengenai Pilkada di kampung kita. Waktu kutinggalkan Makassar, saya pikir kita sudah akan mendapat gubernur baru tapi rupanya perkiraanku itu meleset. Mahkamah Agung rupanya telah membuat cerita baru tentang kampung kita.Mengapa demikian partner?, saya lihat gambar-gambar di tivi banyak saudara-saudara kita yang marah.Saya cemas,khawatir akan nasib kampungku"..sebuah surat yang diterima John pada akhir tahun 2007 lalu. Surat dari seorang sahabatnya, yang kini telah merantau.

"Begitulah kawan. Seperti itulah yang terjadi di kampung kita ini. Saya tak perlu menjelaskan dan banyak cerita lagi soal nasib kampung kita ini. Rasa-rasanya-Pilkada di kampung ini dipenuhi balas dendam yang berkecamuk. Kalau Pilkada di daerah lain, kasusnya hanya sebentar meski terlihat di permukaan amukan orang. Tapi di kampung kita ini, pergolakan yang tersembunyi dan terlihat nyaris sama. Sehingga entah dengan cara apa bisa meredamnya. Bukankah kau tau sendiri, dua kubu yang saat ini bersiteru mempunyai massa yang sama dan pengikut setia. Bukankah pula kau ketahui bahwa kedua massa mereka siap,setia dan fanatik. Bukankah kau ketahui bahwa sifat kita adalah siri' na pacce. Apapun yang terjadi, harus mempertahankan harga diri. Nah sekarang kedua kandidat yang bersiteru-sudah masuk pada fase mempertahankan harga diri" surat ini menjadi jawaban John pada sahabatnya tapi melalui sebuah imel. Maklumlah, John sedikit paham dengan teknologi intertet ketimbang kawannya itu.

Kedua sahabat ini saling membalas surat.Hanya berselang dua hari, tiba lagi pengantar pos membawa surat Ardiansya dari Jakarta.

"pertama-tama kau harus tau John. Bahwa dalam waktu dekat ini saya akan menikah dengan gadis yang kini telah kutemui di Pulau Jawa. Kau tak perlu tau asal usulnya. Yang penting, pendamping hidupku sudah siap yang akan menjaga hatiku,jiwaku dan perasaanku. Tapi ketahuilah John, walau jiwa dan perasaanku telah ada yang menjaganya-namun serasa belum lengkap jika belum kuketahi apa kelanjutan Pilkada di kampung kita" surat Ardiansya sangat singkat.

"Syukurlah. Saat kutulis surat ini-saya baru saja mendapat kabar bahwa besok massa dari kubu Asmara,kau tau Asmara kan (Amin Syam-Mansur Ramli) akan berunjuk rasa di KPUD Sulsel. Mereka menuntut agar KPUD segra meralisasikan ceritra baru yang dikarang oleh MA tentang Pilkada di kampung ini. Ketahuilah, saya sendiri masih bingung karena semuanya membawa atas nama rakyat. Ketika massa SAYANG, kau tau juga kan SAYANG. Ah,,pasti kau taulah karena selain kau pecinta wanita jadi kata sayang sangat fasih di bibirmu. SAYANG yang kumaksud ini adalah Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu'mang. Pasangan ini yang menang dalam Pilkada lalu tapi kemudian diralat oleh MA. Kalau saling balas terus terjadi-lalu kapan bab terakhir cerita Pilkada ini akan berakhir. Kalau epos legenda Bugis - Lagaligo belum diketahui pengarangnya tapi melegenda ke tingkat dunia namun lain bagi cerita Pilkada Sulsel. entah akan melegenda apa cerita Pilkada Sulsel karena begitu banyak pengarang yang hendak menyumbangkan karyanya dalam Pilkada ini. Ketika saya berjalan-jalan di kampung-kampung,banyak saudara-saudara kita mengeluh. Ada yang bertanya, saya kira sudah ada gubernur?kenapa mau diulang lagi?.sudahlah. kami ini capek,pusing menghadapi tuntutan hidup. Minyak tanah tidak ada,harga sembako semuanya naik,harga ikan juga makin naik,mau tebang pohon untuk memasak dilarang katanya apa itu...ada istilah global warning,mau memasak pakai gas tapi gasnya hilang. Sekarang, kami mau disuruh lagi mencoblos orang. Ahh...sudahlah.Kalau begini terus-lalu kapan kita bekerja.Asal tau saja kawan, biaya yang digunakan untuk Pilkada ulang lumayan besar, Rp. 40 Milyar. Bayangkan, uang sebanyak itu digunakan untuk memilih dua orang saja. Kemarin saya ngobrol panjang dengan bapaku. Beliau bilang, "saya tidak mau lagi memilih"Lalu bagaimana dengan bapakmu partner?maukah juga mengikuti jejak pendapat bapaku?