Ratusan percikan air menampar-nampar kakiku bersama kekasihku. Sudah berbagai kalimat cinta dan pengabdian telah kami ucapkan dan saling menyumpahi.Mulai dari perumpaan cinta Zulaikha kepada Jusuf hingga indahnya cinta Majenun dan Layla. Tak ketinggalan pula sedikit kami bumbui kisah Rome dan Juliet.Selalu begitu dan tak henti-hentinya kami mengabdikan sabda cinta itu ketika kami berjumpa di Pantai Losari.Yah...di sinilah,sepanjang pantai losari hingga Pantai Akkarena kaki kami terus berjalan di atas pasir-pasir kecil-yang mungkin jengkel melihat kehadiran dan kemesraan kami.
Di penghujung tahun sejak tiga tahun terakhir ini memang kami selalu bertemu dan bercerita tentang kehidupan yang telah berlalu. Selama ini komunikasi kami hanya melalui Handphone atau SMS.Mungkin sudah beribu kalimat kasih sayang saling bersahut-sahutan telah kami kirim dna ucapkan. Bahkan mugkin juga sudah ada kalimat yang kami ulang-ulangi lantaran rindu dan cinta tak terbendung lagi meronta dalam hati kami. Di kerajaan langit pun Tuhan sudah mencatat bagaimana kisah cinta kami.
Di setiap pertemuan selalu saja kami bercerita tentang kehidupan,tentang manusia. Tiba-tiba kami mendengar kabar bencana di Karanganyar Jawa Tengah. "Ohh Tuhan...murka apa lagi yang Engkau perlihatkan kepada hamba-hambamu di dunia ini?" jerit hatiku berkata demikian karena kusudah dapat kabar bahwa tanah longsor yang terjadi di Jawa Tengah itu sudah menewaskan enam puluh lebih warga. "Hei..tidak terlalu jauh kan dari Karanganyar tempat kamu bekerja", tanyaku kepada Puspita. "Benar bang..hanya sekitar satu koq sudah bisa tiba dari tempatku bekerja" jawabnya sambil terus memegangi tanganku. Dalam genggamannya kali ini kurasai benar ada sebuah getaran aneh yang tersentuh di kulitku.Getaran rindukah?Entahlah. Kami hanya bisa merasai tanpa bisa memaknainya.
"Bang..Tuhan marah lagi kepada saudara-saudara saya di Pulau Jawa.Satu persatu saudara-saudara kami dipanggil menghadapnya dengan berbagai macam cara.Mulai dari Gempa,Tsunami,minyak hingga longsor dan banjir.Sekarang ini, saya tinggal menunggu giliran kapan saya juga akan dipanggil olehNYA?", lirihnya sambil kulihat sebuah butiran air keluar dari kelopak mata Puspita. Kupeluk dirinya,tubuhnya hingga kuberi rasa dimana hatiku juga memeluk hatinya sambil kuceritai Puspita.
"Dik...Tuhan bukan marah kepada saudaramu di Jawa.Tapi marah kepada kita semua,termasuk saya dan semua orang di negeri ini. Dan kita pun juga memang menunggu giliran.Bukan di mana kita berada,bukan karena di Pulau Jawa,Jakarta saja. Bahkan di sini pun, di ujung negeri ini pun semua orang menunggu giliran." kataku.
"Tapi bang...frekwensi kemarahan Tuhan tuh terlihat banyak di wilayah sana. Coba deh di hitung-hitung.Sudah berapa banyak peristiwa yang terjadi di sana" Puspita..
"Sayang..jangan kita menilai seperti itu kepada Tuhan!. Kita tidak punya hak menilaiNYA.hanya DIA lah yang berhak menilai kita. Karena memang DIA-lah milik semua isi alam ini. Kalau DIA hendak mengambil, siapa yang marah?siapa yang menolak", jelasku bagaikan seorang uztadz.
Lalu kami berdiskusi panjang. Mengurai cinta kasih kami selama tiga tahun terakhir ini. Entah hubungan apa, kami lalu merincinya. Di setiap perjumpaan ini selalu saja kami mendengar kisah memilukan di negeri ini. Tangan dan pelukan antar aku dan Puspita bukan hanya pelukan dan getaran rindu yang makin mendalam. Dalam setiap kesempatan kami bertemu selalu ada kisah anak negeri ini.
"Puspita...coba ingat. Akhir tahun 2005 lalu saat kucium keningmu tiba-tiba kita mendengar Tsunami di Aceh dan Sumatra. Hanya lima menit, Tuhan memanggil ratusan ribu orang.Penghujung tahun 2006 kemarin, ingat pulakah kau. Tuhan menghempaskan sebuah pesawat.Tak satupun penumpangnya yang selamat.Saat itu kita melihat langit,tangan kita saling berpegangan dan bertasbih pada langit tentang kesetiaan dan cinta kita. Kini, saat kupeluk hatimu,sukmamu ada lagi peristiwa di Jawa Tengah".
Yahh...bencana akhir tahun seolah saling memanggil. Mereka yang korban lebih dulu seolah memanggil saudaranya bahwa akhir tahun ini giliran kamu yang ikut denganku. Silih berganti bencana itu datang. Berbagai komentar dan pendapat telah dilontarkan oleh pengamat. Semua menyalahkan siapa yang memimpin negeri ini. Lalu muncul pameo dari masyarakat tradisionil dan dukun-dukun bahwa pemimpin negeri ini tidak direstui oleh pemilig jagad ini. Penilaian kepada manusia seolah hampir sama dengan cara memberikan penilaian terhadap Tuhan. Mungkin lantaran kepintaran yang dimiliki sehingga tanpa sadar Tuhan pun diberi penilaian.
Bencana demi bencana kini telah berlalu.Entah bencana apa lagi yang bakal ditemui dikemudian hari. Saya dan Puspita pun heran mengapa disetiap pelepasan rindu kami selalu ada penderitaan yang kami dengar. Ah..jika terus begini maka lagu-lagu Ebit.G.Ade pun akan terdengar lagi. Padahal saya sangat yakin, Ebit tidak menciptakan lagunya untuk meminta korban.
"Kapan kamu balik" tanyaku.
"Minggu bang.."jawabnya.
"baiklah..kamu selalu berhati-hati. kutitip sebuah hati di hatimu yang sudah sekian lama kujadikan dermaga"
"iya bang...dan jiwaku akan kusangkarkan dalam jiwamu.Simpan erat-erat dalam kalbumu bang..pahatkan rinduku dalam sukmamu. Tahun depan kita akan berjumpa kembali" lirihnya sambil mengecup keningku.
Jangan lupa pesanku, jika bertemu kepada setiap orang sampaikan bahwa duka di Karanganyar adalah duka kita semua. Tak sempat saya ikut menolong mereka di sana tapi yakinlah kesedihanku sama dalamnya dengan kesedihan mereka di sana. Mari kita berkabung untuk rakyat yang hilang.
Kamis, 27 Desember 2007
Panggilan Bencana dan Cinta
Diposting oleh dermagamakassar di 17.25
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
indah dan sangat menyentuh, sebuah refleksi persekutuan hati yang tak terbendung.....
Posting Komentar