"apa kabar partner..rasanya sudah hampir dua bulan saya meninggalkan kota kita yang tercinta itu-Makassar. Kini saya mencoba hidup di Ibu Kota Jakarta-yang kata orang kota penuh dengan keganasan. Kalau bukan saya yang ikut dengan gaya mereka maka mereka yang ikut gayaku. Tapi kawan, rasanya sulit-. Sayalah yang kini terawa arus.Tapi sudahlah, saya tidak mau menceritakan panjang lebar kehidupanku di kota ini.Yang ingin kuketahui bagaimana kabarnya kiranya kampung-kampung kita itu. Berdengung rasanya telingaku mendengar berita di tivi,berita di koran mengenai Pilkada di kampung kita. Waktu kutinggalkan Makassar, saya pikir kita sudah akan mendapat gubernur baru tapi rupanya perkiraanku itu meleset. Mahkamah Agung rupanya telah membuat cerita baru tentang kampung kita.Mengapa demikian partner?, saya lihat gambar-gambar di tivi banyak saudara-saudara kita yang marah.Saya cemas,khawatir akan nasib kampungku"..sebuah surat yang diterima John pada akhir tahun 2007 lalu. Surat dari seorang sahabatnya, yang kini telah merantau.
"Begitulah kawan. Seperti itulah yang terjadi di kampung kita ini. Saya tak perlu menjelaskan dan banyak cerita lagi soal nasib kampung kita ini. Rasa-rasanya-Pilkada di kampung ini dipenuhi balas dendam yang berkecamuk. Kalau Pilkada di daerah lain, kasusnya hanya sebentar meski terlihat di permukaan amukan orang. Tapi di kampung kita ini, pergolakan yang tersembunyi dan terlihat nyaris sama. Sehingga entah dengan cara apa bisa meredamnya. Bukankah kau tau sendiri, dua kubu yang saat ini bersiteru mempunyai massa yang sama dan pengikut setia. Bukankah pula kau ketahui bahwa kedua massa mereka siap,setia dan fanatik. Bukankah kau ketahui bahwa sifat kita adalah siri' na pacce. Apapun yang terjadi, harus mempertahankan harga diri. Nah sekarang kedua kandidat yang bersiteru-sudah masuk pada fase mempertahankan harga diri" surat ini menjadi jawaban John pada sahabatnya tapi melalui sebuah imel. Maklumlah, John sedikit paham dengan teknologi intertet ketimbang kawannya itu.
Kedua sahabat ini saling membalas surat.Hanya berselang dua hari, tiba lagi pengantar pos membawa surat Ardiansya dari Jakarta.
"pertama-tama kau harus tau John. Bahwa dalam waktu dekat ini saya akan menikah dengan gadis yang kini telah kutemui di Pulau Jawa. Kau tak perlu tau asal usulnya. Yang penting, pendamping hidupku sudah siap yang akan menjaga hatiku,jiwaku dan perasaanku. Tapi ketahuilah John, walau jiwa dan perasaanku telah ada yang menjaganya-namun serasa belum lengkap jika belum kuketahi apa kelanjutan Pilkada di kampung kita" surat Ardiansya sangat singkat.
"Syukurlah. Saat kutulis surat ini-saya baru saja mendapat kabar bahwa besok massa dari kubu Asmara,kau tau Asmara kan (Amin Syam-Mansur Ramli) akan berunjuk rasa di KPUD Sulsel. Mereka menuntut agar KPUD segra meralisasikan ceritra baru yang dikarang oleh MA tentang Pilkada di kampung ini. Ketahuilah, saya sendiri masih bingung karena semuanya membawa atas nama rakyat. Ketika massa SAYANG, kau tau juga kan SAYANG. Ah,,pasti kau taulah karena selain kau pecinta wanita jadi kata sayang sangat fasih di bibirmu. SAYANG yang kumaksud ini adalah Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu'mang. Pasangan ini yang menang dalam Pilkada lalu tapi kemudian diralat oleh MA. Kalau saling balas terus terjadi-lalu kapan bab terakhir cerita Pilkada ini akan berakhir. Kalau epos legenda Bugis - Lagaligo belum diketahui pengarangnya tapi melegenda ke tingkat dunia namun lain bagi cerita Pilkada Sulsel. entah akan melegenda apa cerita Pilkada Sulsel karena begitu banyak pengarang yang hendak menyumbangkan karyanya dalam Pilkada ini. Ketika saya berjalan-jalan di kampung-kampung,banyak saudara-saudara kita mengeluh. Ada yang bertanya, saya kira sudah ada gubernur?kenapa mau diulang lagi?.sudahlah. kami ini capek,pusing menghadapi tuntutan hidup. Minyak tanah tidak ada,harga sembako semuanya naik,harga ikan juga makin naik,mau tebang pohon untuk memasak dilarang katanya apa itu...ada istilah global warning,mau memasak pakai gas tapi gasnya hilang. Sekarang, kami mau disuruh lagi mencoblos orang. Ahh...sudahlah.Kalau begini terus-lalu kapan kita bekerja.Asal tau saja kawan, biaya yang digunakan untuk Pilkada ulang lumayan besar, Rp. 40 Milyar. Bayangkan, uang sebanyak itu digunakan untuk memilih dua orang saja. Kemarin saya ngobrol panjang dengan bapaku. Beliau bilang, "saya tidak mau lagi memilih"Lalu bagaimana dengan bapakmu partner?maukah juga mengikuti jejak pendapat bapaku?
Selasa, 01 Januari 2008
Surat-Surat Pilkada
Diposting oleh dermagamakassar di 08.58
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar